Oleh Basril Basyar
(Ketua PWI Sumbar)
Berawal dari permintaan maaf Bang Rida pada malam resepsi HUT ke-12 Padang
Ekspres di Convention Center UPI YPTK Padang, Minggu (20/3) malam. Selaku
Chairman RPG (Riau Pos Group), Bang Rida-demikian Rida K Liamsi akrab
dipanggil-menyampaikan permintaan maaf kepada Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno.
“Mungkin saja ada pemberitaan yang kurang berkenan di hati Pak Gubernur
selama Padang Ekspres berkiprah di daerah ini. Atas nama pimpinan saya mohon
maaf,” kata Bang Rida. Begitulah sikap beliau sebagai pimpinan pucuk di media
cetak yang terus menggeliat di Sumatera Barat.
Sebagai orang melayu yang santun dan selalu bersahaja, Bang Rida adalah
sosok wartawan melayu yang rendah hati dan sangat dibanggakan. Beliau memulai
karir dari bawah sebagai koresponden Tempo di Riau. Tidak pernah sombong dan
selalu memposisikan dirinya sebagai motivator.
Cita-cita beliau, bagaimana media yang ia pimpin bisa menjadi milik
masyarakat dan menyuarakan kepentingan publik. Dan, dengan demikian kehadiran
Padang Ekspres di Ranah Minang akan selalu ditunggu.
Dalam posisi seperti itu pula, Bang Rida menyampaikan permintaan maaf
sekiranya media mengusik kenyamanan seorang gubernur. Lalu apa kata Gubernur
Sumbar, Irwan Prayitno? Ternyata, apa yang disampaikan Bang Rida mendapat
respon mendalam dari seorang Gubernur yang dipilih melalui pilkada langsung
oleh rakyatnya.
Saya Pak Rida, kata gubernur memulai sambutannya, tidak pernah merasa
terusik apalagi sakit hati akibat pemberitaan pers. Memang beberapa waktu yang
silam saya sempat menjadi top dan terkenal di daerah ini, karena suatu
pemberitaan. Gubernur memang tidak menyebut berita apa yang menjadikan beliau
terkenal. Namun semua orang tentu mengetahui, termasuk hadirin malam itu.
Gubernur mengatakan bahwa ia memahami peranan media massa. Ia berterima
kasih atas dukungan pemberitaan selama ini. Banyak informasi-informasi positif
yang disampaikan. Tentu juga ada yang negatif. Namun itulah peranan media.
Ketika membaca pemberitaan sebuah media tentang tugas dan tanggung jawab
sebagai gubernur, ia mengaku saat itu pula langsung memanggil SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah) terkait. Dengan harapan masalah tersebut bisa
diselesaikan segera.
Ia pun tidak pernah menyesalkan media dan mengaku tidak pernah memaki
wartawan. “Pernah suatu ketika saya di SMS Montosori, minta tanggapan tentang
sebuah pemberitaan Padek. Saya katakan, terima kasih ya. Ternyata berita Padek
membuat saya terkenal ha ha ha,” kata gubernur membalas SMS itu. “Bukannya
marah,” kata Montosori balik membalas. “Ya. Begitulah tipe saya Bang Rida,”
kata Irwan.
Terus terang, kata Irwan, memang banyak tanggapan yang disampaikan orang
yang simpatik kepadanya. Terkadang mau memukul, lempar batu, mau menganiaya
sang wartawan dan lain sebagainya. Namun, ia tidak memilih jalan itu. Sebab, ia
merasakan sangat banyak bantuan media terhadap tugasnya. “Dan saya tidak akan
intervensi, termasuk membuat blok-blok dan mencari dukungan lain demi membela
diri saya,” kata gubernur.
Ia menyatakan akan membiarkan saja bagaimana media menyikapi tugas-tugasnya
sebagai gubernur. Dan ia pun tidak mau dipuji. Sebab hanya Allah yang pantas
dan berhak dipuji. Termasuk prestasi mendapatkan award tentang penyaluran
bantuan bencana. ”Saya tak memberi tahu wartawan tentang prestasi itu. Biarlah
Allah yang tahu semuanya,” kata gubernur.
Sebagai Ketua PWI Sumbar saya menghormati sikap gubernur yang telah
memberikan kebebasan berekspresi kepada wartawan dan medianya. Memang itulah
salah satu amanat reformasi, sebuah kebebasan. Namun saya ingin menyampaikan
informasi kondisi kekinian dari kalangan wartawan. Profesi wartawan telah
dimasuki berbagai kalangan dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial
bahkan perilaku. Profesi wartawan yang longgar telah dimanfaatkan banyak orang
untuk berkiprah dalam bidang pers. Tidak ada larangan. Undang-undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers membuka peluang bagi semua orang menjadi wartawan dan
pimpinan media. Sehingga terjadilah jungkir-balik pemberitaan. Dan, kita dengar
juga nasib wartawan yang memilukan, dianiaya dan dibunuh.
Berdasarkan penelitian Dewan Pers di 15 kota besar di Indonesia, hanya 20
persen wartawan yang memahami kode etik jurnalistik. Bisa dibayangkan bagaimana
kondisi jurnalistik kita. Hal lain yang mungkin saja terjadi adalah ketika
wartawan melakukan trial by the press, menghukum seseorang melalui pemberitaan.
Kadang seorang wartawan itu dikalahkan oleh wacananya sendiri atau news as
discourse. Fakta memang harus fakta yang disajikan seorang wartawan dalam
pemberitaannya. Tetapi, lagi-lagi faktanya adalah sesuai dengan selera dan
pesanan orang yang berkepentingan dengan itu.
Ketika saya mengikuti Forum Dialog Pers Profesional dan Bermartabat di
Yogyakarta, Dr Ibnu Hamad mengatakan bahwa pemberitaan pers terkadang juga
bias. Pengaruh kedekatan dengan seseorang sangat menentukan. Sesorang wartawan
tanpa dia sadari akan memilih fakta yang dekat dengan emosinya.
Kadang kita sulit untuk mempercayai sebuah pemberitaan, karena suasana
kebatinannya terganggu, ada kecenderungan mereka akan memiliki fakta-fakta atau
frase yang dekat dengan dirinya. Doktor Komunikasi itu mengungkapkan, dalam
mengkonstruksikan sebuah berita, ia akan menandai fakta dan kata yang dekat
dengan dirinya. Sehingga tanpa disadari ada pihak-pihak tertentu yang merasa
terdzolimi. Belum lagi kepentingan pemilik media. Oleh sebab itu, jalinan
silahturahmi dan komunikasi seorang gubernur dengan wartawan dan pimpinan media
sangat diperlukan. Gubernur perlu duduk bersama dengan teman-teman media.
Jelaskanlah apa yang sudah dikerjakan. Termasuk menerima masukan dari
tokoh-tokoh masyarakat. Apakah dilaksanakan atau tidak, gubernur punya
pertimbangan ”Nan jaleh mereka alah sato sakaki.”
Ketika Gamawan Fauzi menjabat sebagai gubernur, ia melakukan komunikasi yang
intens dengan wartawan, termasuk pimpinan media. Sekiranya ada hal-hal yang
kurang pas dalam pemberitaan, ia melakukan klarifikasi dengan santun. Gubernur
Azwar Anas juga seperti itu dan diikuti oleh penerusnya Hasan Basri Durin,
Muckhlis Ibrahim, Zainal Bakar.
Kita harapkan pemimpin selalu dengan rakyat, termasuk media. Kata pepatah
minang, pemimpin itu hanya ditinggikan serantiang dan didahulukan selangkah.
Kalau pers dibiarkan ”bakato hatinyo”, kasian kita dengan rakyat dan daerah,
kalau opini yang terbentuk tak sesuai dengan yang sebenarnya sebab belum semua
mereka paham, bisa memilah mana yang benar dan mana yang tidak.
Padang Ekspres, 22 Maret 2011